The Dawn of First March (Bab 15)

PELUKAN TERPANJANG

Beberapa hari setelah Changmin terpilih menjadi ketua Manseh, ia mengajak seluruh anggota Manseh, termasuk anggota baru seperti Seungyeon dan anak-anak seangkatannya untuk hanami (melihat bunga sakura yang bermekaran) di salah satu lokasi hanami favorit di daerah Koganei, Tokyo, di sepanjang Sungai Tamagawa.

Sungai kecil yang lebih menyerupai parit tersebut membelah dua daratan yang di sepanjang daratan tersebut ditumbuhi pohon-pohon sakura sepanjang empat kilometer. Pohon sakura pertama di sana ditanam pada tahun 1737 di dekat Jembatan Koganei.

Koganei, Tokyo, tahun 1890-an

Di bawah pohon-pohon sakura yang bermekaran, seluruh anggota Manseh berkumpul dan bercengkerama. Changmin sedang memperkenalkan pengurus Manseh kepada para anggota baru.

“Dan salah satu pengurus Manseh yang cukup populer di kalangan adik-adik, yakni kakak ganteng kita Dong Youngbae,” ujar Changmin sembari menunjuk Youngbae. Semua orang tertawa, sedangkan Youngbae sendiri hanya tertunduk malu dan cengar-cengir.

“Para wanita, Youngbae ini masih sendiri, dalam artian tidak punya pasangan. Yah, maklum saja dia ini tidak pandai dan sering kikuk di depan wanita. Tetapi kalian para wanita gak akan rugi apabila berpasangan dengan dia. Semua kriteria calon menantu idaman para orang tua ada pada dia.”

Mereka tertawa lagi. Kali ini terbahak-bahak dan bersorak-sorak.

Changmin lalu terdiam. Membuat yang lainnya juga ikut terdiam dan keheranan dengan diamnya Changmin yang tiba-tiba. Selama diam, Changmin menatap mata mereka satu per satu.

Changmin menghela napas. “Sekarang saatnya saya harus jujur dan minta maaf…”

“Terutama minta maaf ke Youngbae…”

Kasak-kusuk terjadi. Satu sama lain melemparkan pandangan dan yang lainnya hanya mengangkat bahu atau menggeleng.

“Youngbae dan Jaekyung tentu masih ingat ketika kita pergi berlima beserta sopir dan seorang junior bernama Ji Eun naik mobil saya dalam sebuah perjalanan liputan ke Saitama setahun lalu. Kebetulan Ji Eun ini sekarang sudah tidak di Manseh lagi. Di tengah jalan, mobil saya mogok. Lalu saya dan Jaekyung sepakat meninggalkan mobil untuk mencari bantuan.”

Semua menyimak cerita Changmin dengan seksama. Ekspresi muka Changmin masih datar-datar saja.

“Saya dan Jaekyung meninggalkan sopir dengan Youngbae dan Ji Eun. Sekitar dua jam kemudian, kami kembali ke mobil. Dan apa yang kami dapati? Youngbae malah tertidur di jok belakang mobil dengan posisi duduk yang saling berjauhan dengan Ji Eun.”

Di sini Changmin mulai tidak bisa menahan tawa. “Yah untuk itulah kami hendak minta maaf kepadamu, Youngbae. Karena mobil mogok itu hanyalah akal-akalan kami saja. Aku minta sopirku untuk berpura-pura mogok, lalu aku dan Jaekyung pergi ninggalin kamu dan Ji Eun. Biar apa? Sebenarnya kami berusaha menjodohkan kamu dan Ji Eun. Hahahahahahaha, tapi apa daya, sopirku cerita selama aku dan Jaekyung pergi, kalian berdua malah diam-diaman dan akhirnya kau tertidur.”

“Yaaaahhhhhh, Changmin!!!!!!!” hardik Youngbae gemas dan malu.

***

“Seungho tidak kamu ajak, Seungyeon?” sapa Changmin.

Seungyeon menoleh terkejut. “Changmin, kamu bikin aku kaget!”

Changmin tersenyum. “Kok kamu sendirian saja menjauh ke sini? Jangan terlalu jauh, nanti tersesat.”

“Tidak kok. Tadi aku sudah senang-senang sama teman-teman yang lain. Aku cuma sedikit, bosan.”

Mereka berdiri bernaung di sebuah pohon sakura besar yang jarang bunganya. Di tanah sudah berceceran kelopak-kelopak sakura yang rontok. Dengan hati-hati, Changmin menata langkahnya. Tidak ia biarkan sepatunya menginjak kelopak sakura di tanah.

“Kamu bosan?” Changmin sigap. “Baiklah, langsung bilang saja bagian mana dari acara ini yang bikin kamu bosan? Biar aku tegur saja panitianya.”

“Jangan, tidak usah. Bukan salah mereka. Aku saja yang sedang tidak lurus.”

“Tidak lurus? Kamu kenapa?” Changmin hendak mendaratkan tangannya di pundak Seungyeon, namun buru-buru Seungyeon menepisnya.

“Tak apa, terima kasih Changmin,” ia tersenyum. “Cuma beberapa hari ini leher belakangku sakit. Mungkin salah posisi tidur saja.”

“Kamu yakin? Kamu sedang banyak pikiran, kan? Stres? Soal apa? Kuliah, atau soal Seungho?” selidik Changmin.

“Yah, banyak hal. Tidak bisa aku utarakan satu per satu. Membebani kamu.”

Changmin diam dan mengangguk saja. “Belakangan ini aku jarang lihat Seungho. Ke mana dia?”

“Seungho sedang kerja.”

“Kerja apa? Aku tidak pernah tahu dia ada pekerjaan.”

Seungyeon mengangkat bahu. “Aku juga tidak tahu. Dia ngotot tidak mau kasih tahu apa pekerjaannya dia.”

“Apakah dengan bungkamnya dia itu mengganggu kamu?”

“Tidak terlalu. Terima kasih untuk perhatiannya ya, Changmin. Aku berpikiran positif tentang apa yang dikerjakannya. Paling tidak sampai sejauh ini…”

“Itu benar-benar di luar kebiasaannya Seungho. Seungyeon…” Changmin berdehem. “Jangan sampai kamu terlambat untuk mengucapkan selamat tinggal,” Changmin menyalakan sebatang rokoknya. Ia membelakangi Seungyeon dan menggerutu pelan.

Changmin melangkah meninggalkan Seungyeon. Belum jauh, ia berbalik. “Kamu tidak ikut? Jaekyung sudah menunggu kita di tempat tadi kita berkumpul.”

***

Minggu sore ketika langit mulai bersemu kuning dan kini berwarna lembayung sebelum akhirnya abu-abu dan gelap. Seungyeon melamun menatap ke bawah dari jendela kamarnya. Terlihat Francis, Junho, dan beberapa teman laki-lakinya bermain lempar tangkap bola di halaman belakang. Di tempat tidur Seungyeon, terbaring Yoobin dan Nana yang masih terlelap sejak tidur siang mereka beberapa jam lalu.

Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunan Seungyeon. Sambil duduk, ia menggeser sedikit posisi kursi yang sedang didudukinya, berdiri, dan membuka pintu.

“Hai Seungyeon!” wajah ramah Jung Ah langsung dilihatnya di balik pintu.

“Hai, Kak Jung Ah…” balas Seungyeon tersenyum.

“Ada tamu buat kamu,” Jung Ah tersenyum lebar penuh rahasia.

“Siapa, Kak?”

Belum sempat Jung Ah menjawab, tamu Seungyeon telah menampakkan diri di antara mereka berdua.

“Maaf mengganggu waktu santai kamu sore-sore.”

“Changmin?”

“Seungyeon, aku datang dengan seseorang. Aku cuma mengantar saja, orang inilah tamu kamu sebenarnya,” Changmin mengangkat alisnya dan melirik Jung Ah menyampaikan semacam kode.

“Tunggu. Kalian berdua tidak sedang mengerjai aku, kan?” kewaspadaan Seungyeon menanjak seketika.

“Kamu tetaplah berdiri di sini,” Changmin beringsut ke ujung koridor dan memanggil seseorang yang diajaknya tersebut.

Orang itu datang dan tatapannya langsung diarahkan kepada Seungyeon. Seungyeon ternganga, kakinya serasa membeku. Untuk beberapa detik, ia menjadi seperti patung lilin dalam sebuah ekspresi yang tidak biasa.

Annyeong haseyo, Han Seungyeon. Lama sekali kita tidak jumpa, ya.”

Seungyeon masih tergugu. “Ka……ka……”

“Ya. Ini aku!” orang itu langsung dipeluk erat oleh Seungyeon. Seungyeon memeluknya erat, erat sekali. Mata mereka saling terpejam, mungkin saling mengeluarkan tenaga untuk memeluk kuat-kuat, mungkin juga menahan air mata agar tidak jatuh.

Changmin yang ada di samping mereka hanya tersenyum, lalu kemudian Jung Ah menghampirinya bersama Nana dan Yoobin yang berhasil dibangunkannya dengan menyelinap ke kamar Seungyeon.

“Yuk. Kita tinggalkan Seungyeon dan Sunye berdua…”

***

“Seungyeon, sebelum aku lupa, aku ingin mengucapkan selamat kepadamu karena berhasil masuk Universitas Tokyo. Aku bangga sekali denganmu,” puji Sunye.

Seungyeon masih belum bisa berkata-kata karena kebanyakan menangis sejak tadi. Dua cangkir teh yang dihidangkan untuk mereka belum juga disentuh. Sunye merogoh saputangannya, lalu beranjak menuju sebuah baskom berisi air yang diletakkan di ujung kamar Seungyeon. Dicelupkannya sedikit saputangannya itu ke dalam air, lalu ia kembali duduk di hadapan Seungyeon, perlahan Sunye mengusap saputangan basah itu ke sekujur wajah Seungyeon dan diakhiri dengan sebuah pijatan lembut di kedua mata Seungyeon. Seungyeon menurut dan memejamkan mata.

“Apa kamu merasa nyaman, Seungyeon? Berhenti menangis ya, adikku sayang… Aku suka melihat kamu yang tegar dan ceria. Ya? Sehabis ini kamu minum tehnya ya…” Sunye menjawil lembut dagu Seungyeon.

Sunye mengambilkan secangkir teh dan menyuguhkannya untuk Seungyeon. Seungyeon tak bisa menolak lagi. Direguknya teh itu sampai habis. Tanpa diminta, Sunye mengambil cangkir tersebut dari tangan Seungyeon dan meletakkannya kembali di atas meja.

Sunye tersenyum manis. Seungyeon menatap kakak sepupunya yang tak dilihatnya selama 4 tahun itu lekat. Kulit Sunye tampak lebih gelap, mungkin karena lama ia bertugas di laut dan di atas kapal. Seungyeon menangkap ada sesuatu yang berbeda dari Sunye. Matanya. Sunye sedang berbahagia, hal itu secara jujur terungkap, namun sorot mata Sunye tidak sepenuhnya mengisyaratkan. Dari balik pancaran matanya itu, Seungyeon dapat membaca ada sebuah beban berat yang menghimpit Sunye.

“Kapan Kakak kembali dari tugas?” tanya Seungyeon. Ia berusaha mengalihkan pikirannya tadi.

“Sekitar tiga hari yang lalu aku kembali ke daratan. Aku benar-benar tidak tahu dari mana, tiba-tiba saja Changmin menghampiri aku ke pondok sewaanku. Padahal aku juga lama tidak kontak dengannya, tetapi dia bisa tahu aku pulang. Dia langsung menembakku dengan pernyataan mengejutkan bahwa adik sepupuku yang lama tidak bertemu denganku sudah kuliah di Tokyo. Hampir aku mati berdiri!”

“Maklum saja, Kak. Changmin itu wartawan handal, dia bisa mengendus keberadaan siapapun di kota ini,” Seungyeon terkekeh.

“Ya. Changmin sekarang ketua Manseh. Hebat ya dia? Dulu sahabatku selama belajar di kampus. Kami sering belajar bersama, membuat tugas, dan jalan-jalan ke laut untuk melakukan penelitian. Tetapi memang Changmin sangat tertarik dengan urusan-urusan politik dan nasionalisme yang demikian, jadinya ia belum lulus sampai sekarang. Anaknya kritis, berani, dan cerdas. Juga Changmin doyan sekali pacaran. Beda denganku, yang hidup di balik meja dan rak perpustakaan. Aku ini tidak gaul, Seungyeon. Jangan ditiru…”

Mereka terkikik berdua. “Cuma aku satu-satunya perempuan yang tidak akan dan tidak pernah dirayu oleh Changmin. Ah, kamu pasti sudah bosan mendengar cerita tentang Changmin. Bagaimana, kamu sudah dijebak rayuan mautnya dia, belum?” goda Sunye.

Seungyeon melengos malu. “Sempat. Tapi tidak mempan. Aku cuma menitipkan hatiku untuk seseorang saja.”

“Auuuwwwww………… Seungyeon sudah mulai kenal cinta rupanya. Siapa orangnya? Kenalkan ke aku ya?!”

“Namanya Yang Seungho, Kak. Ia sahabatnya Changmin juga. Ia seniorku satu jurusan. Aktivis, termasuk keras menurut orang-orang, tetapi ia sangat lembut terhadapku. Pasti, aku akan mengenalkannya ke Kak Sunye. Aku sayang sekali dengannya, jadi Kakak juga harus merestui hubunganku dengannya ya…” Seungyeon merangkul manja lengan Sunye.

***

Keesokan harinya, Seungyeon menemani Sunye berkunjung ke sebuah pemakaman. Di sebuah nisan datar berwarna merah bata, Sunye bersimpuh. Pelan-pelan, ia mencabuti rumput-rumput liar di sekitar nisan dan menyingkirkan daun-daun kering yang berserakan di sekitar nisan.

Seungyeon mengambil tempat persis di belakang Sunye. “Makam siapa, Kak?”

“Makam seorang sahabat,” jawab Sunye tanpa menoleh. “Sahabat yang hangat. Teman kampusku. Ia meninggal karena serangan jantung mendadak, ketika kami sedang dinas di atas kapal. Saat itu, aku dan semua awak kapal menangis. Kami kehilangan seorang penghibur dan penguat di saat kami putus asa jauh dari keluarga. Padahal ketika kami memulangkan jenazahnya ke darat, hanya ibunya yang menjemput jenazahnya. Bagaimana mungkin seseorang yang sepanjang hidupnya hanya tinggal berdua dengan ibunya dapat mempunyai kekuatan sebesar itu untuk menumbuhkan harapan di hati setiap orang yang patah hati?” Sunye membelai-belai nisan itu.

Perlahan Sunye berdiri. “Kini, apa yang bisa aku perbuat untuk orang lain yang berkesusahan?” gumamnya.

“Seungyeon?” panggil Sunye sambil berpaling ke belakang. Dilihatnya sudah ada seorang pria berdiri berdampingan dengan Seungyeon.

“Kak, ini Seungho…”

Seungho membungkukkan badannya terlebih dahulu, diikuti Sunye. “Annyeong haseyo, Sunye. Sungguh saya terhormat bisa kenal dan bertemu dengan kamu.”

“Saya yang lebih senang bisa jumpa dengan kamu. Kalian berdua…” Sunye menggenggam tangan Seungyeon dan Seungho. “Seungho, jaga Seungyeon baik-baik ya. Dia kesayangan di keluarganya dan juga keluarga kami. Hidup kalian berdua akan baik-baik saja selama kalian berdua terus bersama. Jangan salah jalan ya…” Sunye tersenyum. Ada sebuah kekuatan di balik senyuman itu. Seungyeon sekilas melihat wajah Sunye empat tahun lalu saat ia masih berada di Seoul bersamanya. Seulas senyum yang tak pernah ia lihat di wajah Sunye beberapa hari ini.

Seungho merasa canggung dan salah tingkah. “Sunye, kamu agak sedikit berleb……”

Buru-buru Seungyeon menyenggol Seungho. Seakan paham, “ah iya, terima kasih, Sunye…”

Sunye tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, lalu kembali memusatkan perhatiannya ke nisan tadi.

“Kak…” panggil Seungyeon setengah berbisik.

“Nanti malam aku pinjam bantalmu ya. Beberapa waktu belakangan ini, kepalaku selalu merosot dari bantal dengan sendirinya. Aku merasa badanku ringan sekali, seakan tak ada isi di balik kulitku ini.”

Sendu melanda. Seungyeon biarkan emosi segala ada menguasai dirinya. Dipeluknya tubuh Sunye dari belakang. Seungyeon menangis di pundak Sunye.

***

Haru no yume
Kino chigawanu ga
Urameshii!
Impian musim semi
Kasihanilah aku yang tak menjadi gila!

Sebuah haiku (puisi tradisional Jepang) dengan terjemahan bebas

Pagi itu, mereka semua beranjak dan bergegas menuju kamar Seungyeon. Mereka berkumpul setelah mendengar teriakan dari seorang penghuni rumah yang berniat mengunjungi Seungyeon di kamarnya. Napas mereka semua terengah-engah.

Di dalam kamar itu, di atas lantai, mereka menyaksikan sebuah tubuh telah membiru dan terbujur kaku. Ia meninggal dalam posisi meringkuk, seperti seorang bayi dalam rahim ibunya. Ia terlihat tangguh di luar, namun rapuh di dalam.

Seungyeon yang semalam tidur di kamar Nana menyeruak kerumunan, dengan keberanian didekatinya jenazah tersebut di kala semua orang hanya berani melihatnya dari kejauhan.

“Sunye. Kak Sunye…”

Diguncang-guncangnya tubuh Sunye tanpa suara yang keluar dari mulutnya. Tanpa teriakan histeris, tanpa isak tangis. Mata Sunye telah terpejam, tetapi Seungyeon dapat melihat raut kebahagiaan di sana, raut wajah Sunye yang biasa dikenalnya. Kakak sepupu yang pintar dan penyayang.

Beberapa gadis yang turut menyaksikan hal itu tak kuat menahan derai tangisnya. Seungyeon mencoba menekan perasaan sakit dan sedih yang menghimpitnya itu. Ia masih memiliki kekuatan untuk itu. Seribu tanya menyerbu otaknya bagai serpihan gula yang dihampiri oleh semut-semut, mampu menunda air matanya untuk membanjir.

Mengapa Kak Sunye, mengapa aku baru dapat temui lagi wajah bahagiamu di akhir hidupmu?

Masih dengan bibir terkatup, Seungyeon berlutut dan berusaha membopong jenazah Sunye naik ke atas tempat tidur. Di saat terakhir, Seungyeon ingin memberikan tempat yang nyaman bagi Sunye.

“Kita baringkan Sunye dengan tata cara yang layak. Kamu siapkan semua ya,” nada suara Jung Ah masih terdengar tegas di sela-sela kepanikan dan keterkejutan yang menggantung. Lekas-lekas Francis membantu Seungyeon menegakkan tubuh Sunye itu dan berdasarkan perintah Jung Ah yang ada di tempat sama untuk segera membawa jenazah Sunye ke lantai bawah rumahnya yang luas.

Sementara pertanyaan bertubi-tubi masih menghantam pikiran Seungyeon, dua pasang tangan dengan sigap menopang tubuh Seungyeon yang mulai limbung. Eunjung dan Nana. Mata keduanya masih buram oleh air mata. Tangan Nana sibuk menghalau kerumunan orang-orang yang berusaha mendekati Seungyeon. Susah-payah, mereka berdua membawa Seungyeon menjauh dan keluar dari kamar.

Kak, Kak Sunye, mengapa kamu pergi meninggalkan aku tanpa aku tahu apa-apa? Kak, di saat terakhir, mengapa kamu tidak jawab pertanyaanku seperti dulu kamu selalu dengan sabar menjawab tanyaku?

***

Lantunan dan senandung ayat-ayat tradisional Korea untuk kematian seseorang terdengar seperti sebuah langkah-langkah kaki yang menderu-deru dan berdengung di telinga Seungyeon. Bersimpuh di bawah tangga, ia dapat melihat ruang tengah rumah Jung Ah yang telah disulap menjadi tempat persemayaman jenazah, lengkap dengan altar dadakan beserta lilin, dupa, dan sesajian yang disusun dari meja-meja seadanya. Bau alkohol menguar ke seluruh ruangan.

Semua orang menangis. Beberapa menit lalu bahkan Jung Ah baru bisa ditenangkan karena mendadak menangis histeris. Sesaat Seungyeon merasa iri dengan Jung Ah. Bagaimana Jung Ah yang hanya berkawan dengan Sunye dapat begitu ekspresifnya menyatakan rasa kehilangan, sementara dirinya yang sama-sama memiliki darah dari ibu mereka, terkunci mulutnya layaknya orang lumpuh total.

Lantas, tergopoh-gopoh Francis dari luar rumah memasuki ruangan dan membawa berkeranjang-keranjang bunga seruni, bunga lambang duka cita yang biasa ada di pemakaman orang Korea. Dengan cekatan ia langsung menaruh bunga yang sudah terangkai di sekitar altar dan di sekeliling tempat duka. Mendadak, Seungyeon berdiri dan menuju tengah-tengah orang yang duduk bersimpuh. Hatinya geram.

“Siapa?! Siapa yang berani membawa bunga seruni untuk Sunye? SIAPA?!”

Seungyeon mendekati Francis. “Francis? Siapa yang suruh kamu bawa bunga ini semua?” suara Seungyeon nyaring dan lantang.

Tenggorokan Francis serasa tercekat. Ia tidak menyangka akan disambut oleh kemarahan Seungyeon. “No, tidak, Seungyeon. Ini bunga biasa yang ……” Francis tidak berani menatap mata Seungyeon. Ia paham sekali bahwa Seungyeon jarang marah.

Dengan kasar, Seungyeon merenggut keranjang yang masih digenggam oleh Francis dan dibantingnya ke atas lantai. Bunga-bunga seruni berceceran di lantai dan bunyi keranjang bambu yang terpental tidak membunyikan suara gaduh namun mampu membuat seisi rumah hening seketika.

Seungyeon berlari ke belakang rumah diiringi tatapan heran dari semua yang ada di sana. Nana hendak menyusul Seungyeon, namun beberapa orang mencegahnya. Seungyeon berlari terus sambil menengadah ke atas langit. Tsutsuji. Azalea. Kak Sunye hanya ingin bunga itu.

About asokamaurya

Big brother, son, friend, lover

Posted on January 25, 2012, in Fanfiction, The Dawn of First March. Bookmark the permalink. 3 Comments.

  1. Tragic amat bang si Sunye nya meninggal T^T… ane cma bsa komen ini… sebab masih benar2 terhanyut sama ceritanya… huhu

  2. Maaf ya, Bro… apabila Sunye-nya harus saya buat meninggal, sebab ada rahasia besar di belakang itu semua.

    Jangan lama-lama terhanyut, nanti tenggelam, gak bisa balik.

  3. Yeah, akhirnya baca dari bab 1 sampe 15 ini. Commentnya semua tumplekin disini aja ya om, hehehe.

    Pertama, aku suka sejarah. Kedua, aku seneng sama gaya tulisan om. Makanya, aku nggak bosen baca bab 1 s.d. 15 ini langsung. Seperti yang aku bilang, kaya nonton film. Cuma karena emang ceritanya juga belum beres, aku kayak ketiduran di tengah2 film :))

    Soal ceritanya, yang aku suka gimana om ngegambarin tokohnya itu terkesan ‘pas’. Okelah, aku nggak begitu demen Seungyeon, apalagi udah dipair sama Jinki begitu *jiwa fangirl, orang susah :))*, tapi disini aku ngerasa enjoy sama kisah si Seungyeon yang berliku liku (halah). Penggambaran Jung Ah, di pikiran aku kayak Mameha di film ‘Memoirs of A Geisha” :))

    Seungri mati, Sunye mati, jangan bilang nanti Jinki mati. Aku belum siap om, demi apapun…

    Ditunggu bab2 selanjutnya ya om, aku siap dimention kalo udah ada updatenya. Cemungudh om ganteng cemungudh!!!

Leave a reply to Sharfina Hwang (@sharfina28) Cancel reply